TBC mungkin identik dengan penyakit paru-paru akibat infeksi Mycrobacterium tuberculose, yang ditandai batuk berdahak atau lebih dari dua minggu. Namun bakteri yang terbawa dalam aliran darah ini ternyata bisa mengganggu organ lain.
Di Indonesia TBC Tulang masuk kategori TBC ekstra paru dengan 240 jumlah kasus pada 2019. Sementara jumlah total kasus TBC ekstra paru di tahun yang sama adalah 59.525 dari 563.456 total seluruh kasus TBC di Indonesia. Dengan kasus tersebut maka proporsi kasus TBC Tulang dibanding total kasus TBC hanya 0,04 persen. Jumlah yang sangat kecil ini tentu bukan untuk diremehkan. Proporsi ini menjadi tanda ada sesuatu yang sangat istimewa dengan penyakit ini.
Ramziya Naufal Khairullah (13) dan Awallokita Mayangsari atau Mayang (32) menjadi saksi serangan TBC Tulang yang diakibatkan bakteri gram positif ini. Mayang merawat ayahnya Bey Dharmawan (58) yang meninggal setelah didiagnosa mengalami TBC Tulang.
“Bapak sering banget batuk-batuk kaya alergi gitu. Kalau dingin bapak batuk, jadi bias banget kirain kondisi biasa,” ujar Mayang mengawali kisahnya bersinggungan dengan TBC Tulang saat mendampingi ayahnya ketika menghadapi penyakit ini.
Gejala yang sangat bias menjadi catatan Mayang terkait TBC Tulang, hingga dianggap bukan kondisi serius. Batuk yang dialami ayahnya juga tidak berdahak layaknya TBC. Kondisi ini mengakibatkan keluarga menganggap batuk yang dialami pasien bukan gangguan berat. Kondisi lain yang muncul adalah nyeri pinggang selama tiga tahun terakhir. Namun lagi-lagi nyeri ini kerap hilang timbul hingga keluarga pasien tidak mencurigainya. Nyeri hilang bilang sudah dipijat dan dianggap gangguan terkait usia.
“Untuk nyeri pinggang mungkin ada faktor usia, kecengklak, keseleo, abis angkat berat, dan ketika dipijat reda ya udah. Keluarga nggak berpikir jauh dan menghubungkan gejala yang muncul pada kecurigaan tertentu. Kita miss banget,” kata Mayang.
Dua gejala tersebut memang sangat umum, namun Mayang mendapati gangguan yang sebetulnya menjadi khas TBC. Kondisi tersebut adalah berkeringat pada malam hari saat yang lain tidak merasakan kondisi tersebut, serta penurunan badan tiba-tiba. Mayang ingat ayahnya bahkan sampai membuka pakaian karena merasa panas dan gerah banget. Kondisi tersebut dialami dua tahun terakhir, sejak pasien menempati rumahnya bersama sang istri pada 2015. Rasa gerah terlihat sangat berlawanan dengan kondisi sekitar.
“Dua tahun inilah yang paling beda banget gejalanya. Kita nggak kegerahan tapi bapak kegerahan sendiri di rumah. Yang paling beda memang ini, bapak merasa gerah pada malam hari sampai keringetan tapi kita nggak,” kata Mayang.
Kondisi khas lainnya adalah penurunan berat badan drastis usai Hari Raya Idul Fitri pada Mei 2020. Sebelumnya pasien mengalami demam tinggi hingga berat badannya berkurang. Menurut Mayang, kondisi ini sebetulnya menandai infeksi kuman TBC pada pasien.
Dengan kondisi yang dialami, pasien bukannya tidak ingin konsultasi pada dokter. Pandemi COVID-19 mengakibatkan pasien takut ke fasilitas kesehatan. Konsultasi ke dokter bisa dilaksanakan setelah diberi motivasi dan kompromi antar anggota keluarga.
“Gangguan lebih besar di pasien. Ke fasilitas pelayanan kesehatan di masa pandemi takutnya luar biasa. Kalau gejala minimal ya udah nggak apa-apa. Ngerasa ada gejala tapi nggak mau melakukan pemeriksaan di faskes,” kata Mayang.
Pasien akhirnya berhasil datang ke sebuah rumah sakit di Bandung, Jawa Barat. Pasien dua kali konsultasi pada dokter spesialis saraf sebelum dinyatakan harus rawat inap. Kondisi pasien saat itu sudah tidak bisa duduk dan hanya berbaring
“Nyeri pinggang bukan berkurang tapi makin parah, hingga akhirnya dirawat pada 29 Agustus 2020. Dari situ MRI pada 3 September 2020 dan di tanggal 14 September 2020 mendapat penjelasan tentang TBC Tulang plus penyakit penyerta,” kata Mayang
Pasien dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung untuk penanganan penyakit penyerta dan nyeri pinggang. Pasien dijadwalkan dua operasi pada 13 Oktober 2020 untuk penanganan dua kondisi tersebut. Tindakan ini juga bertujuan mengkultur nanah pada radang tulang belakang (spondilodiskitis).
Hasil kultur inilah yang semakin memantapkan penegakan diagnosa TBC Tulang. Sayangnya setelah diagnosa selesai, pasien belum sempat menjalani terapi Obat Anti TBC (OAT). Pasien dinyatakan berpulang pada 13 Oktober 2020 setelah serangkaian pemeriksaan terkait TBC Tulang.
Kondisi Ramziya atau akrab disapa Akram mungkin tidak jauh beda dengan Bey. Akram kerap merasa nyeri dan pegal di punggung atas mulai kelas 5 SD. Pada 2018 Akram menerima diagnosa TBC Tulang dan harus menjalani operasi pasang pen di tahun yang sama.
TBC Tulang mengakibatkan tubuh Akram bagian pinggang ke bawah tidak bisa berfungsi dengan baik. Anak laki-laki yang duduk di kelas 7 ini sempat tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan merasakan berbagai sensasi di telapak kakinya. Kondisi Akram makin baik setelah operasi dan melakukan fisioterapi. Dia bisa berdiri, duduk, dan mulai berjalan menggunakan alat bantu. Layaknya anak lain, Akram bisa sekolah dan bermain lagi bersama teman-temannya.
Latihan fisioterapi hingga kini terus dilakukan Akram dua kali seminggu. Fisioterapi bertujuan mengembalikan fungsi tubuh hingga berfungsi seperti semula. Latihan awalnya dilakukan di RSUD Kota Bekasi, namun tertunda karena pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai.
“Biasanya terapi dua kali seminggu tapi karena pandemi ini jadi terganggu. Saya nggak bisa ke rumah sakit untuk konsultasi ke dokter atau fisioterapi. Latihan fisioterapi sekarang dilakukan di rumah,” kata Akram yang bercita-cita menjadi atlet e-sport ini.
Selama latihan di rumah, Akram dibantu tenaga ahli yang memiliki kompetensi di bidang fisioterapi. Akram harus menyiapkan seluruh perlengkapan latihan sendiri, misal matras atau alat gerak lain. Setelah sesi fisioterapi, Akram harus mengulang sendiri gerakannya.
Hingga saat ini latihan di rumah memang berlangsung baik, namun Akram kangen fisioterapi di RSUD Kota Bekasi. Terapi di RSUD yang menjadi rujukan COVID-19 ini memungkinkan Akram bertemu pasien lainnya. Fisioterapi diawali Electrical Stimulations Therapy. “Kalo di rumah sakit pakai terapi yang disetrum dulu, enak tuh. Di rumah nggak bisa kaya gitu. Di rumah juga nggak bisa konsultasi. Latihannya sendiri kangen sama yang lain,” kata Akram yang kini bersekolah di SMP Mutiara 17 Agustus, Kota Bekasi.
Akram tentunya sangat maklum dengan kondisi pandemi saat ini. Tak bisa fisioterapi dan konsultasi di rumah sakit, bukan berarti menunda latihan dan kemajuan proses pemulihan. Apalagi Akram ingin segera bisa berlari, naik sepeda, dan main bola seperti semula. Dengan impian tersebut, Akram melanjutkan proses fisioterapi di rumah. Latihan di rumah mungkin akan terus berlanjut hingga pandemi COVID-19 reda. Atau sedikitnya menjadi lebih baik dan aman bagi pasien TBC Tulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar